Hanbok
(Korea Selatan) atau Chosŏn-ot (Korea Utara) adalah pakaian tradisional
masyarakat Korea. Hanbok pada umumnya memiliki warna yang cerah, dengan
garis yang sederhana serta tidak memiliki saku. Walaupun secara harfiah
berarti “pakaian orang Korea”, hanbok pada saat ini mengacu pada
“pakaian gaya Dinasti Joseon” yang biasa dipakai secara formal atau
semi-formal dalam perayaan atau festival tradisional.
Beberapa
elemen dasar hanbok pada saat ini seperti jeogori atau baju, baji
(celana) dan chima(rok) diduga telah dipakai sejak waktu yang lama,
namun pada zaman Tiga Kerajaanlah pakaian sejenis ini mulai berkembang.
Lukisan pada situs makam Goguryeo menunjukkan gambar laki-laki dan
wanita pada saat itu memakai celana panjang yang ketat dan baju yang
berukuran sepinggang. Struktur tersebut sepertinya tidak banyak berubah
sampai saat ini.
Pada
akhir masa Tiga Kerajaan, wanita dari kalangan bangsawan mulai memakai
rok berukuran panjang dan baju seukuran pinggang yang diikat di pinggang
dengan celana panjang yang tidak ketat, serta memakai jubah seukuran
pinggang dan diikatkan di pinggang.
Pada
masa ini, pakaian berbahan sutra dari Tiongkok (Dinasti Tang) diadopsi
oleh anggota keluarga kerajaan dan pegawai kerajaan. Ada yang disebut
Gwanbok, pakaian tradisional untuk pegawai kerajaan pada masa lalu
Pada
masa Dinasti Joseon, jeogori wanita secara perlahan menjadi ketat dan
diperpendek. Pada abad ke-16, jeogori agak menggelembung dan panjangnya
mencapai di bawah pinggang. Namun pada akhir abad ke-19, Daewon-gun
memperkenalkan Magoja, jaket bergaya Manchu yang sering dipakai hingga
saat ini.
Chima
pada masa akhir Joseon dibuat panjang dan jeogori menjadi pendek dan
ketat. Heoritti atau heorimari yang terbuat dari kain linen difungsikan
sebagai korset karena begitu pendeknya jeogori.
Kalangan
atas memakai hanbok dari kain rami yang ditenun atau bahan kain
berkualitas tinggi, seperti bahan yang berwarna cerah pada musim panas
dan bahan kain sutra pada musim dingin. Mereka menggunakan warna yang
bervariasi dan terang. Rakyat biasa tidak dapat menggunakan bahan
berkualitas bagus karena tidak sanggup membelinya.
Umumnya dahulu kaum laki-laki dewasa mengenakan durumagi (semacam jaket panjang) saat keluar rumah.
Baik
pria maupun wanita memelihara rambut mereka menjadi panjang. Pada saat
mereka menikah, mereka mengkonde rambutnya. Pria mengkonde (mengikat)
rambutnya sampai atas kepala sangtu, sedangkan wanita mengkonde sampai
batas di belakang kepala atau di atas leher belakang. Wanita
berkedudukan sosial tinggi seperti kisaeng, memakai aksesori wig yang
disebut Gache. Gache sempat dilarang di istana pada abad ke-18. Pada
akhir abad ke-19, gache semakin populer di antara kaum wanita dengan
bentuk yang semakin besar dan berat. Jokduri, jenis gache yang lebih
kecil.
Tusuk
konde binyeo, ditusukkan melewati konde rambut sebagai penguat atau
aksesori. Bahan pembuatan binyeo bervariasi sesuai kedudukan sosial
pemakainya. Wnita juga mengenakan jokduri pada hari pernikahan mereka
dan memakai ayam untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin.
Pria menggunkan gat, topi dari rambut kuda, yang juga bervariasi sesuai status atau kelas